Sabtu, 22 Agustus 2009

Ini Dia Belia Pendulang Omzet Jutaan Rupiah


Kamis, 6 Agustus 2009 | 13:53 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com — Sebanyak 10 pemuda dan pemudi dinobatkan sebagai pemenang YES Business Competition Award 2009, Kamis (6/8), atas bisnis yang telah mereka bangun dan menghasilkan omzet jutaan rupiah per bulan. Padahal, mayoritas dari pemenang tak berumur lebih dari 30 tahun.

Sebanyak tujuh pemenang dari kategori pemula adalah Darwati (31) dengan usaha Adist Parfum; Erryza Susilo (28) dengan usaha 1001 Bros Cantik; Kiswanto (24) dengan usaha minuman dan makanan Wedang Uwuh Celup, Tortila Chips, dan Kerupuk Jagung; kemudian M Apip Firmansyah (28) dengan lembaga pendidikan Super Tensis English Center; Novianty Tandjung (29) dengan bisnis online tas bermerek Simply Her Style; Nur Anissa Rahmawaty (27) dengan butik online Annisa, Yunnas Habibilah (27) dengan produk daur ulang limbah koran Dluwang.

Sementara tiga orang pemenang dari kategori usaha, yaitu Arian Taufik (22) dengan usaha pulsa Colek D-Cell; Dyah Ayu Setyaningsih (24) dengan berbagai produk kuliner berbahan dasar labu (Pumpkin House) serta Heranggara (22) dengan usaha Angga Craft dari kain atau bahan spanduk.

Direktur Eksekutif Indonesia Business Link (IBL) Yanti Koestoer mengatakan, sepuluh pemenang ini dipilih dari 411 peserta dan dipilih karena produk yang inovatif, strategi pemasaran yang mapan dan memiliki potensi profitable serta dampak ekonomi dan sosial ke masyarakat sekitar.

Tentu saja, syarat-syarat ini ada di para pemenang karena sebagian besar dari mereka telah mampu menghimpun omzet puluhan juta per bulan dari usaha mereka. Sebut saja, Apip yang mampu meraih omzet Rp 25 juta per bulan dari pelatihan bahasanya serta Novianty Tandjung yang mampu meraup omzet Rp 55 juta per bulan.

"Setelah ini, para pemenang akan diberi pendidikan dan mentoring gratis dari para eksekutif korporasi yang sudah kami pilih. Hadiah uang Rp 10 juta yang tadi dipilih itu hanya modal awal," tutur Yanti.

KOMPAS.com Caroline Damanik

Sandiaga S. Uno


Rapi dan dinamis, singkat saja kesan pertama yang langsung didapat saat masuk ke dalam ruang tamu di kantor pengusaha muda, Sandiaga S. Uno yang terletak hanya sepelemparan batu dari Hotel Indonesia.
Sofa yang disediakan pun nampak serasi dengan warna dinding ruangan. Pada sisi kanan ruangan sebuah lemari besar dipenuhi piala dan foto berhadapan dengan televisi datar ukuran besar di sisi lain.
Tak beberapa lama, masuk pria berperawakan sedang sambil membawa sebuah toples plastik berisi kue dan buku berjudul “Etiket” karya Mien R Uno. “Ini saya bawakan kue untuk teman ngobrol,” ujarnya sembari tersenyum.
Siang itu tak nampak sama sekali gurat khwatir di wajahnya gara-gara Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla tengah menantinya di Istana untuk mendengarkan masukan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia.
“Terus terang pulang ke Indonesia itu gara-gara krisis, aku memutuskan pulang Juni 1998. Aku ini pengusaha kecelakaan,” ujar pria yang akrab disapa Sandi, merendah.
Padahal begitu lulus sebagai sarjana akunting dengan predikat summa cum laude dari The Wichita State University, Kansas, AS, tahun 1990, Sandi langsung ditawari taipan Astra, William Suryajaya agar bergabung dengan Bank Summa.
Hanya satu setengah tahun ayah dari Anneesha Atheera dan Amyra Atheefa bertahan menduduki jabatan finance and accounting officer di Bank Summa untuk kemudian kembali lagi negeri Paman Sam.
Saat itu dia mendapat tawaran beasiswa dari Bank Summa untuk menempuh program MBA dari The George Washington University, Washington yang diselesaikannya dengan sempurna. Indeks Prestasi Komulatif (IPK) Sandiaga mencapai 4,00 alias summa cum laude.
“Banyak hal yang terjadi waktu sekolah. Mulai dari Bank Summa ditutup. Waktu itu nggak etis banget [kalau] waktu itu saya tinggalkan bank dalam keadaan susah. apalagi saya sudah diberi beasiswa,” tutur suami Noor Asiah itu.
Demi loyalitas itu, meski sudah mendapat tawaran dari, Sandi tetap menyempatkan diri untuk kembali ke Bank Summa guna membantu proses penyelesaian permasalahan bank tersebut.
Menurut Sandi, penyelesaian itu sangat terbantu sikap Om Will untuk menyelesaikan semua kewajiban kepada nasabahnya. Tentu dengan akibat keluarga William Suryajaya harus kehilangan Astra.
Setelah itu Seapower Asia Investment Limited dan MP Holding Limited Group di Singapura menjadi tempatnya berlabuh, perusahaan minyak dan gas NTI Resources Limited, Calgary, Canada menjadi tempatnya berkelana.
Sandi sendiri kemudian kembali ke Jakarta setelah perusahaan investasi di Singapura yang menjadi tempatnya bekerja akhirnya tutup. “Saya tidak pernah berpikir untuk jadi pengusaha. Setiap bulan pokoknya diberi fasilitas dan gaji.”
Rupanya begitu pulang ke Jakarta, Sandi baru sadar ternyata dia tidak tahu akan melangkah ke mana dan akhirnya mulai mendirikan PT Recapital Advisors yang berkutat dalam hal review advisory.
Untungnya, dia cukup akrab dengan Edwin Soeryadjaya—anak Om Will—keduanya lantas sepakat untuk mendirikan PT Saratoga Investama Sedaya yang membidangi private equity dan direct investment.
Hanya saja meski Sandi sudah menjadi pengusaha. Kemauannya untuk terus turun ke lapangan membuat kawan-kawan sesama pengusaha bingung.
“Saya tidak mau melepas keprofesionalan saya. Kita tidak tahu usaha kita kalau tidak benar-benar menegtahui usaha kita,” tuturnya.
Dukungan Orang Terdekat
Langkah Sandi sebagai pengusaha itu rupanya mendapat dukungan yang berarti dari kedua orang tuanya meski ayah dan ibunya sama sekali tidak berlatar belakang dunia swasta.
Malah sang ayah, Henk Uno sebetulnya tidak pernah berfikir Sandi akan menjadi pengusaha dan berharap agar anak bungsunya itu mau mengikuti jejaknya.
Dan bukan kebetulan jika kedua orang tua Sandi cukup dikenal kalangan atas. Hasilnya dia tak perlu memperkenalkan dirinya kepada relasi-relasi bisnisnya. Istilahnya membantu membukakan pintu.
Meski begitu dia tidak pernah merasa kesepakatan bisnisnya tidak pernah diperoleh hanya karena koneksi relasi kedua orang tuanya. “Relasi hanya bisa membuka pintu itu merupakan jalan. Selebihnya kita yang harus meyakinkan mereka.”
Namun seluruh semangat kemandiriannya itu diakui Sandi sebagai satu hal yang diasah berkat terasing di negeri orang semasa menyelesaikan pendidikannya. Suatu fase yang membentuk kemandirian dan keseriusan.
Beruntung dia belum sampai harus bekerja menjadi tukang bersih-bersih. Tetapi Sandi mengaku pernah juga merasakan pengalaman bekerja sebagai asisten lab dengan gaji US$3 per jam.
Untung pekerjaan itu tak bertahan lama, gara-garanya dia melihat peluang pendapatan besar kalau menjadi tutor yang gajinya mencapai US$6 per jam dan terus meningkat menjadi teacher assistant di kampus.
“Sudah jauh dari orang tua dan saudara, hanya ada temen-temen. Mau tidak mau kita terpaksa harus mandiri dan gigih. Selain udaranya dingin, bahasa pun kadang-kadang tidak mengerti,” kenang pria penggemar baca buku dan olahraga ini.
Uniknya, kemampuan adik dari Indra Uno dalam beradaptasi cukup cepat sehingga saat dia kembali ke tanah air Sandi tidak mengalami kerepotan akibat shock culture seperti umumnya orang yang baru kembali dari luar negeri.
Sesi hidup paling berkesan
Perihal keterlibatannya di HIPMI, Sandi justru punya cerita yang cukup lucu. Konon
Saat itu Muhammad Lutfi yang menjabat sebagai Ketua HIPMI mengajaknya untuk mampir ke HIPMI.
“Saya tanya, berapa persen waktu yang tersita untuk HIPMI, dia bilang paling 30%-35%. Jadi kamu tetap bisa dagang. Padahal sebetulnya saya tahu waktu dia habis untuk ngurusi HIPMI,” paparnya semabri tertawa.
Namun akhirnya, Sandi justru tetap memilih untuk aktif ke dalam HIPMI. “Waktu saya masuk ternyata bukan 30%-35% tapi hampir 100%!”
Hal itu disebabkan HIPMI diakui oleh Sandi merupakan organisasi yang sangat dinamis dan besar. Tercatat hingga kini HIMPI sudah memiliki jaringan di 32 provinsi. Anggota-anggota tersebut sangat aktif melaporkan masalah mereka kepada dirinya.
Tak heran jika kemudian dia mengakui saat ini merupakan sesi hidup yang paling berkesan. Sebab dengan HIPMI dia betul-betul belajar pertemenan kebersamaan.
“Saya melihat ada aspirasi sebagian kawan yang menganggap HIPMI suatu pintu ke bidang politik dan lain-lain. Padahal awalnya saya melihat organisasi ini murni urusan bisnis tapi ternyata semuanya bercampur lobby politik,”
Tetapi, lanjutnya, justru ini sisi dinamis dan menariknya HIPMI. Menurut dia hal ini tidak ada dan tidak bisa dipelajari dari bangku sekolah.

Posted by: algooth putranto

Jumat, 21 Agustus 2009

Dare dreamer atau day dreamer?

oleh : Anthony Dio Martin
Managing Director HR Excellency

"Happy are those who dream dreams and are ready to pay the price to make them come true." - Leon Joseph Cardinal Suenens
Baru-baru ini, saya menyaksikan tayangan biografi Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, Barack Hussein Obama. Menilik perjalanan hidupnya, sangat sulit terbayangkan bagaimana anak yang ditinggal oleh ayah kandungnya sejak kecil dan sempat berpindah tempat tinggal, termasuk pernah tinggal di Indonesia ini, akhirnya menjadi orang nomor satu di negara adidaya Amerika Serikat.
Dengan darah campuran antara ibu kulit putih dan ayah keturunan Afrika, membuatnya sempat mengalami kebingungan identitas. Bahkan, pada usia awalnya, Obama sempat berkenalan dengan narkoba. Namun, segalanya mulai berubah tatkala ia diterima di Harvard Law School dan mulai melihat titik terang dalam hidupnya.
Mulailah Obama berani bermimpi, setahap demi setahap. Mulai dari masuk ke Kongres, menjadi senator hingga menjadi presiden. Sebuah perjalanan yang hanya bisa dilewati dengan berpegang teguh pada mimpinya. Pada diri Barack Obamalah, kita melihat bagaimana pidato Martin Luther King yang terkenal, "I have a dream", betul-betul terwujud!
Daring dream atau day dream?
Sudah begitu banyak buku, seminar, artikel yang mengajarkan kepada kita soal pentingnya menetapkan sebuah impian. Namun, pertanyaan-nya yang terpenting sekarang: apakah yang kita miliki sekadar mimpi (day dream) atau itu merupakan mimpi berani yang harus dicapai (daring dream)?
Dalam pembelajaran selama hidup ini, dari buku - buku yang saya baca, seminar yang penah saya ikuti, termasuk belajar dari kisah hidup Barack Obama, saya mendefinisikan ada lima perbedaan kualitas antara yang berani bermimpi (daring dream) dan sekadar bermimpi (day dream).
Pertama, orang yang berani bermimpi menggantungkan kepada disiplin diri untuk meraihnya, sedangkan seorang pemimpi menggantungkan kepada keberuntungan.
Seorang yang berani bermimpi, umumnya punya disiplin yang kuat untuk merealisasikan mimpinya.
Ambil contoh Barack Obama, tatkala kalah dari Bobby Rush dalam pemilihan Partai Demokrat untuk US House of Representative pada 2000, dia tidak menyerah dan masih setia mewujudkan mimpi-mimpinya. Dengan kepala tegak dan penuh disiplin, Barack Obama tetap melanjutkan perjuangan prinsip-prinsipnya. Itulah salah satu disiplin mewujudkan mimpi yang ditunjukkan Barack Obama.
Dalam hal ini, benarlah apa yang dikatakan motivator dunia, Jim Rohn bahwa, "Discipline is the bridge between goals and accomplishment." Jelas, hanya kedisiplinanlah yang menjadi kunci atau jembatan untuk merealisasikan setiap mimpi kita.
Kedua, pribadi yang berani bermimpi tetap terfokus pada proses pencapaian, sedangkan pemimpi selalu terfokus kepada tujuan akhir saja, serta enggan melewati prosesnya.
Lihatlah Barack Obama. Ia memulai proses menjadi kandidat presiden dengan tertatih-tatih, satu demi satu persaingan yang berat harus dihadapinya. Termasuk persaingan yang luar biasa adalah justru tatkala ia harus berhadapan dengan Hillary Clinton, istri mantan Presiden Bill Clinton yang sudah begitu dikenal.
Jutaan pasang mata bisa melihat bagaimana proses perdebatan yang sengit terjadi di antara mereka, dan Obama menjadi Presiden bukannya dengan jalan yang mulus. Namun, itulah proses perjuangan yang ditunjukkan seorang Barack Obama.
Berbicara tentang hal ini, Greg Anderson, seorang penulis dari Amerika dan pendiri American Wellness Project pernah berujar, "Focus on the journey, not the destination. Joy is found not in finishing an activity but in doing it." Sungguh tepat!
Karena itu, kita pun perlu berfokus pada proses pencapaian setiap visi, impian dan cita - cita kita, sesulit apa pun! Dan mulai menikmati proses dalam pencapaiannya. Herannya, tatkala kita betul-betul menikmatinya, suatu ketika kita akan merasa bahwa, tanpa disadari ternyata kita sudah bisa meraih apa yang kita angan-angankan.
Ketiga, seorang yang berani bermimpi mencari alasan untuk bertindak, sedangkan seorang pemimpi mencari alasan untuk mengeluh.
Seorang yang benar - benar berani bermimpi, memfokuskan diri kepada tindakan - tindakan yang makin mengarahkan kepada mimpinya.
Sebagai seorang yang pernah berkerja sama dan menggunakan metode 'agitasi emosi'-nya Paul Allinski, Barack Obama banyak meletakkan dirinya pada situasi ketika ia betul-betul 'marah' pada kondisinya sekarang untuk memaksanya mengambil tindakan. Itulah yang diajarkan oleh Obama.
Tatkala kita tidak puas dengan kondisi sekarang dan mengharapkan yang lebih baik, janganlah mengeluh tetapi berbuatlah sesuatu yang mampu mewujudkan kondisi yang lebih baik. Fokus Obama hanya satu, yaitu bertindak untuk mencapai apa yang menjadi impiannya. Bagaimana dengan Anda? Lebih banyak berkeluh kesah atau bertindak?
Keempat, seorang yang berani bermimpi selalu mengambil inisiatif, sedangkan orang yang hanya bermimpi selalu menunggu.
Seorang pemimpi punya kecenderungan menunggu. Entah menunggu waktu baik, hari baik, kesempatan lebih baik, peluang lebih baik, rekan yang baik, tempat yang baik, dan hal baik lainnya yang selalu menjadi prekondisi untuk mewujudkan impiannya.
Hal ini kontradiktif sekali dengan orang yang benar - benar berani bermimpi. Dalam kondisi atau situasi apa pun, orang ini selalu mengambil inisiatif. Apa yang belum ada, maka dia akan berusaha keras untuk mencari atau bahkan menciptakannya.
Perhatikan Barack Obama, kelahiran 1961, yang tidak menunggu lantaran usianya yang relatif muda sebagai politisi. Bandingkan dengan Obama yang tidak menunggu kesempatan datang, selalu mengejar bahkan menciptakan peluang. Termasuk saat Obama berusaha bergabung dengan Sidley and Austin law firms di mana ia bertemu dengan Michelle pertama kali, sekaligus kesempatannya untuk bertemu dengan para top leader.
Akhirnya, kelima, seorang yang berani bermimpi selalu menganggap bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi, sedangkan seorang pemimpi menganggap bahwa yang terjadi adalah tanggung jawab orang lain.
Kualitas terakhir inilah yang menjadi penentu antara seorang yang sekadar pemimpi dengan yang berani bermimpi. Mereka yang berani bermimpi, punya respons yang benar atas apa pun yang terjadi.
Pada saat terjadi kesalahan ataupun kekeliruan, diri mereka tidak mencari 'kambing hitam' untuk dipersalahkan, tetapi selalu belajar dari pengalaman itu.
Mulai saat ini, marilah menjadikan diri kita sebagai Dare dreamer bukan hanya seorang day dreamer!
Ngomong-ngomong, tahukah Anda buku pertama yang ditulis Barack Obama yang sebagian besar diselesaikan di Bali, berhubungan juga dengan mimpi yakni, "Dreams from My Father"! Barack Obama adalah dare dreamer sejati!