Sabtu, 22 Agustus 2009

Sandiaga S. Uno


Rapi dan dinamis, singkat saja kesan pertama yang langsung didapat saat masuk ke dalam ruang tamu di kantor pengusaha muda, Sandiaga S. Uno yang terletak hanya sepelemparan batu dari Hotel Indonesia.
Sofa yang disediakan pun nampak serasi dengan warna dinding ruangan. Pada sisi kanan ruangan sebuah lemari besar dipenuhi piala dan foto berhadapan dengan televisi datar ukuran besar di sisi lain.
Tak beberapa lama, masuk pria berperawakan sedang sambil membawa sebuah toples plastik berisi kue dan buku berjudul “Etiket” karya Mien R Uno. “Ini saya bawakan kue untuk teman ngobrol,” ujarnya sembari tersenyum.
Siang itu tak nampak sama sekali gurat khwatir di wajahnya gara-gara Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla tengah menantinya di Istana untuk mendengarkan masukan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia.
“Terus terang pulang ke Indonesia itu gara-gara krisis, aku memutuskan pulang Juni 1998. Aku ini pengusaha kecelakaan,” ujar pria yang akrab disapa Sandi, merendah.
Padahal begitu lulus sebagai sarjana akunting dengan predikat summa cum laude dari The Wichita State University, Kansas, AS, tahun 1990, Sandi langsung ditawari taipan Astra, William Suryajaya agar bergabung dengan Bank Summa.
Hanya satu setengah tahun ayah dari Anneesha Atheera dan Amyra Atheefa bertahan menduduki jabatan finance and accounting officer di Bank Summa untuk kemudian kembali lagi negeri Paman Sam.
Saat itu dia mendapat tawaran beasiswa dari Bank Summa untuk menempuh program MBA dari The George Washington University, Washington yang diselesaikannya dengan sempurna. Indeks Prestasi Komulatif (IPK) Sandiaga mencapai 4,00 alias summa cum laude.
“Banyak hal yang terjadi waktu sekolah. Mulai dari Bank Summa ditutup. Waktu itu nggak etis banget [kalau] waktu itu saya tinggalkan bank dalam keadaan susah. apalagi saya sudah diberi beasiswa,” tutur suami Noor Asiah itu.
Demi loyalitas itu, meski sudah mendapat tawaran dari, Sandi tetap menyempatkan diri untuk kembali ke Bank Summa guna membantu proses penyelesaian permasalahan bank tersebut.
Menurut Sandi, penyelesaian itu sangat terbantu sikap Om Will untuk menyelesaikan semua kewajiban kepada nasabahnya. Tentu dengan akibat keluarga William Suryajaya harus kehilangan Astra.
Setelah itu Seapower Asia Investment Limited dan MP Holding Limited Group di Singapura menjadi tempatnya berlabuh, perusahaan minyak dan gas NTI Resources Limited, Calgary, Canada menjadi tempatnya berkelana.
Sandi sendiri kemudian kembali ke Jakarta setelah perusahaan investasi di Singapura yang menjadi tempatnya bekerja akhirnya tutup. “Saya tidak pernah berpikir untuk jadi pengusaha. Setiap bulan pokoknya diberi fasilitas dan gaji.”
Rupanya begitu pulang ke Jakarta, Sandi baru sadar ternyata dia tidak tahu akan melangkah ke mana dan akhirnya mulai mendirikan PT Recapital Advisors yang berkutat dalam hal review advisory.
Untungnya, dia cukup akrab dengan Edwin Soeryadjaya—anak Om Will—keduanya lantas sepakat untuk mendirikan PT Saratoga Investama Sedaya yang membidangi private equity dan direct investment.
Hanya saja meski Sandi sudah menjadi pengusaha. Kemauannya untuk terus turun ke lapangan membuat kawan-kawan sesama pengusaha bingung.
“Saya tidak mau melepas keprofesionalan saya. Kita tidak tahu usaha kita kalau tidak benar-benar menegtahui usaha kita,” tuturnya.
Dukungan Orang Terdekat
Langkah Sandi sebagai pengusaha itu rupanya mendapat dukungan yang berarti dari kedua orang tuanya meski ayah dan ibunya sama sekali tidak berlatar belakang dunia swasta.
Malah sang ayah, Henk Uno sebetulnya tidak pernah berfikir Sandi akan menjadi pengusaha dan berharap agar anak bungsunya itu mau mengikuti jejaknya.
Dan bukan kebetulan jika kedua orang tua Sandi cukup dikenal kalangan atas. Hasilnya dia tak perlu memperkenalkan dirinya kepada relasi-relasi bisnisnya. Istilahnya membantu membukakan pintu.
Meski begitu dia tidak pernah merasa kesepakatan bisnisnya tidak pernah diperoleh hanya karena koneksi relasi kedua orang tuanya. “Relasi hanya bisa membuka pintu itu merupakan jalan. Selebihnya kita yang harus meyakinkan mereka.”
Namun seluruh semangat kemandiriannya itu diakui Sandi sebagai satu hal yang diasah berkat terasing di negeri orang semasa menyelesaikan pendidikannya. Suatu fase yang membentuk kemandirian dan keseriusan.
Beruntung dia belum sampai harus bekerja menjadi tukang bersih-bersih. Tetapi Sandi mengaku pernah juga merasakan pengalaman bekerja sebagai asisten lab dengan gaji US$3 per jam.
Untung pekerjaan itu tak bertahan lama, gara-garanya dia melihat peluang pendapatan besar kalau menjadi tutor yang gajinya mencapai US$6 per jam dan terus meningkat menjadi teacher assistant di kampus.
“Sudah jauh dari orang tua dan saudara, hanya ada temen-temen. Mau tidak mau kita terpaksa harus mandiri dan gigih. Selain udaranya dingin, bahasa pun kadang-kadang tidak mengerti,” kenang pria penggemar baca buku dan olahraga ini.
Uniknya, kemampuan adik dari Indra Uno dalam beradaptasi cukup cepat sehingga saat dia kembali ke tanah air Sandi tidak mengalami kerepotan akibat shock culture seperti umumnya orang yang baru kembali dari luar negeri.
Sesi hidup paling berkesan
Perihal keterlibatannya di HIPMI, Sandi justru punya cerita yang cukup lucu. Konon
Saat itu Muhammad Lutfi yang menjabat sebagai Ketua HIPMI mengajaknya untuk mampir ke HIPMI.
“Saya tanya, berapa persen waktu yang tersita untuk HIPMI, dia bilang paling 30%-35%. Jadi kamu tetap bisa dagang. Padahal sebetulnya saya tahu waktu dia habis untuk ngurusi HIPMI,” paparnya semabri tertawa.
Namun akhirnya, Sandi justru tetap memilih untuk aktif ke dalam HIPMI. “Waktu saya masuk ternyata bukan 30%-35% tapi hampir 100%!”
Hal itu disebabkan HIPMI diakui oleh Sandi merupakan organisasi yang sangat dinamis dan besar. Tercatat hingga kini HIMPI sudah memiliki jaringan di 32 provinsi. Anggota-anggota tersebut sangat aktif melaporkan masalah mereka kepada dirinya.
Tak heran jika kemudian dia mengakui saat ini merupakan sesi hidup yang paling berkesan. Sebab dengan HIPMI dia betul-betul belajar pertemenan kebersamaan.
“Saya melihat ada aspirasi sebagian kawan yang menganggap HIPMI suatu pintu ke bidang politik dan lain-lain. Padahal awalnya saya melihat organisasi ini murni urusan bisnis tapi ternyata semuanya bercampur lobby politik,”
Tetapi, lanjutnya, justru ini sisi dinamis dan menariknya HIPMI. Menurut dia hal ini tidak ada dan tidak bisa dipelajari dari bangku sekolah.

Posted by: algooth putranto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar